69GanjilGenap ~ Pemasangan antena provider salah satu internet di kawasan kota tua Jakarta. Ini adalah penggambaran iklan Telkomsel Broadband 4G LTE yang ramai menghiasi layar kaca sejak tahun lalu hingga kini. Pariwara 60 detik ini hanya satu dari sekian banyak iklan Telkomsel di televisi. Selain Telkomsel, iklan-iklan sejenis tersuguh dari Indosat Ooredoo dan XL yang tak kalah gencar. Hal kontras justru terjadi pada iklan-iklan dari Bakrie Telecom yang sudah lama tak muncul lagi, padahal dahulu dengan produk ESIA iklan mereka cukup meramaikan layar kaca.
Gencarnya operator telekomunikasi membangun citra dan promosi di masyarakat lewat pariwara tak terpisahkan dari geliat sektor industri ini yang bergerak melesat lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi nasional. Layanan data kini menjadi ujung tombak bisnis operator.
BPS mencatat, rata-rata pertumbuhan sektor telekomunikasi dan informasi pada 2014-2016 mencapai 9,65 persen. Pada kuartal III-2017, pertumbuhan sektor ini mencapai 9,8 persen secara tahunan (year on year).
“Industri telekomunikasi memang sangat menjanjikan. Penetrasi internet di Indonesia masih akan terus meningkat. Pangsa pasar di luar Pulau Jawa juga masih terbuka lebar,” kata Hans Kwee, Direktur Investa Saran Mandiri kepada Tirto.
Sayangnya, gurihnya bisnis telekomunikasi dan informasi tersebut tidak mampu ditangkap oleh dua perusahaan telekomunikasi khususnya emiten telekomunikasi yang melantai di Bursa Efek Indonesia, yakni PT Bakrie Telecom Tbk. (BTEL) dan PT Smartfren Telecom Tbk. (FREN).
Pada kuartal III-2017, Bakrie Telecom membukukan pendapatan sebesar Rp5,7 miliar, anjlok 96 persen dari kuartal III-2016 sebesar Rp148,6 miliar. Akibat tergerusnya pendapatan, rugi bersih perseroan naik 29 persen menjadi Rp969 miliar.
“Menurunnya pendapatan disebabkan pendapatan layanan telekomunikasi yang lebih rendah dari kuartal III-2016,” kata Manajemen Bakrie Telecom dalam paparan publik 13 Desember 2017 dikutip dari keterbukaan informasi kepada BEI.
Berdasarkan laporan keuangan perusahaan, drastisnya penurunan pendapatan Bakrie Telecom disebabkan perusahaan kehilangan pendapatan dari penjualan kartu prabayar. Pada kuartal III-2016, kartu prabayar menyumbang Rp124,5 miliar.
Selain itu, perusahaan yang mencatatkan sahamnya di BEI pada 2006 itu juga kehilangan pendapatan dari jasa interkoneksi. Sebelumnya, perseroan sempat meraup pendapatan dari jasa interkoneksi senilai Rp15,06 miliar pada kuartal III-2016.
“Berat memang bagi BTEL untuk ikut mengambil kue pangsa pasar industri telekomunikasi. Kalau kita cek pasar, [kehadiran] produk dari BTEL saat ini bisa dibilang hampir tidak ada lagi,” tutur Hans Kwee.
Selama tujuh tahun terakhir, tren pendapatan Bakrie Telecom terus menurun. Perseroan pernah meraup pendapatan sebesar Rp2,59 triliun pada 2011. Namun, pada tahun-tahun berikutnya, pendapatan terus tergerus hingga tinggal Rp5,7 miliar pada kuartal III-2017.
Pada periode yang sama, perusahaan yang porsi sahamnya banyak beredar di masyarakat, yakni 56,37 persen itu, juga tidak pernah sekalipun merasakan laba bersih alias konsisten mencetak rugi bersih.
Akibat kinerja keuangan yang terus merugi tersebut, membuat harga saham perseroan yang memiliki market cap sebesar Rp1.839 triliun ini berada di level paling rendah, yakni Rp50 per saham.
Upaya transformasi Bakrie Telecom memang sudah mulai dilakukan. Mereka bergeser dari penyelenggara jaringan dan jasa telefoni dasar menuju ke penyelenggara jasa telefoni dasar secara kemitraan dengan menggunakan jaringan milik penyelenggara jaringan telekomunikasi. Mulai 2016 dan 2017 Bakrie Telecom fokus melayani pelanggan korporat dan pelanggan yang berada di gedung tinggi.
Senasib dengan Bakrie Telecom, kinerja keuangan operator lain seperti Smartfren Telecom juga sedang tidak baik. Pada kuartal III-2017, perusahaan milik Sinarmas Grup ini mencatatkan pendapatan sebesar Rp3,31 triliun, naik 28 persen dari kuartal III-2016.
Pendapatan Smarfren paling banyak disumbang dari penjualan data sebesar Rp2,96 triliun. Disusul, layanan percakapan Rp172,09 miliar, pesan singkat (SMS) Rp100,57 miliar, jasa interkoneksi Rp32,36 miliar, abonemen Rp29,95 miliar dan lain-lain Rp15,42 miliar.
Sayangnya, kinerja pendapatan positif itu ternyata menghasilkan beban usaha yang terlampau tinggi, yakni senilai Rp4,87 triliun. Dengan beban usaha ditambah beban lain-lain, membuat Smartfren mengalami rugi bersih sebesar Rp2,83 triliun, naik 120 persen.
“Harus diakui, Smartfren memang melakukan banyak hal untuk dapat berkembang. Namun, kita harus tahu bahwa belanja modal di industri ini sangat besar, belum lagi harus melakukan promosi. Butuh waktu,” ujar Hans Kwee.
Selain itu, tantangan Smartfren untuk mengambil pangsa pasar juga sangat besar mengingat teknologi yang dibawa adalah CDMA. Saat ini, para pengguna data internet lebih memilih untuk menggunakan teknologi 4G.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar